Hakikat Keimanan
Iman adalah pembenaran yang mantap dan pengakuan yang sempurna terhadap segala perintah Allah dan rasul-Nya, menyakini dan tunduk kepadanya baik secara lahir maupun batin. Iman meliputi pembenaran hati dan keyakinan yang memiliki konsekuensi amalan hati dan anggota badan. Oleh sebab itu para ulama menjelaskan bahwa iman adalah, “Ucapan hati dan lisan, serta amalan hati, lisan dan anggota badan.” Sehingga, iman adalah ucapan, amalan, dan keyakinan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan (lihat at-Taudhih wa al-Bayan li Syajarat al-Iman, hal. 7)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang. Yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Bahkan, rasa malu juga merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Beliau menjadikan perkara-perkara ini semuanya sebagai bagian dari iman. Yaitu ucapan laa ilaha illallah, ini adalah ucapan. Menyingkirkan gangguan dari jalan, ini adalah amalan. Dan rasa malu sebagai cabang keimanan, maka ini adalah keyakinan…”(lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 181)
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, amal dengan anggota badan, keyakinan dengan hati. Ia dapat bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad al-Hadi ila Sabil ar-Rasyad olehSyaikh Ibnu Utsaimin hal. 98)
Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.”(lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 47)
Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Iman harus mencakup ketiga perkara ini; keyakinan, ucapan, dan amalan. Tidak cukup hanya dengan keyakinan dan ucapan apabila tidak disertai dengan amalan. Dan setiap ucapan dan amalan pun harus dilandasi dengan niat. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits, “Sesungguhnya setiap amalan itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Begitu pula, bersatunya ucapan, amalan, dan niat tidaklah bermanfaat kecuali apabila berada di atas pijakan Sunnah. Karena sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya maka pasti tertolak.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam lafal Muslim disebutkan juga, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan dari tuntunan kami maka dia pasti tertolak.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 145)
Para ulama mengatakan, “Bukan termasuk paham Ahlus Sunah pendapat yang mengatakan bahwa iman adalah sekedar pembenaran hati! Atau pembenaran hati dan diiringi dengan ucapan lisan -saja- tanpa disertai amal anggota badan! Barangsiapa yang berpendapat semacam itu maka dia adalah orang yang sesat, dan ini merupakan -keyakinan- madzhab Murji’ah yang sangat buruk itu!” (lihat Mujmal Masa’il al-Iman al-Ilmiyah, hal. 14).
Iman Dalam Pandangan Murji’ah
Kalangan Murji’ah memiliki empat pendapat dalam hal iman:
Pertama, mereka mengatakan bahwa iman adalah ma’rifah/pengakuan di dalam hati. Apabila seorang sudah mengakui Rabbnya maka dia sudah dikatakan beriman. Ini adalah pandangan kaum Jahmiyah. Konsekuensi pendapat mereka ini adalah bahwasanya Iblis juga beriman. Iblis mengatakan, “Wahai Rabbku, karena Engkau telah memutuskan aku sesat.” (QS. al-Hijr: 39). Bahkan, Fir’aun dan semua orang kafir pun dinilai beriman karena mereka semuanya mengakui Allah sebagai Rabb mereka. Sehingga artinya, tidak ada seorang pun yang kafir di atas muka bumi ini. Ini adalah pendapat yang paling keji.
Kedua, mereka mengatakan bahwa iman adalah tashdiq/pembenaran di dalam hati. Mereka memandang bahwa pengakuan semata belum cukup, tapi harus disertai dengan pembenaran. Ini merupakan pendapat kaum Asya’irah, dan ini adalah pendapat yang salah. Orang-orang kafir pun pada dasarnya telah membenarkan dengan hati mereka. Allah ta’ala berfirman tentang Fir’aun dan para pengikutnya, “Dan mereka menentangnya, padahal mereka telah meyakininya di dalam hatinya, itu dikarenakan sikap aniaya dan ingin menyombongkan diri.” (QS. an-Naml: 14). Banyak orang kafir yang membenarkan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi mereka tidak mau mengikutinya karena sombong dan fanatik terhadap ajaran nenek moyang mereka. Seperti halnya apa yang menimpa kepada Abu Thalib, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiga, mereka mengatakan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan diucapkan dengan lisan. Mereka inilah yang dikenal dengan kaum Murji’ah Fuqoha. Diantara panganut paham ini adalah kalangan Hanafiyah. Mereka mengatakan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan pengucapan dengan lisan. Mereka tidak memasukkan amal dalam hakikat iman.
Keempat, mereka yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan dengan lisan. Ini merupakan pendapat kaum Karramiyah. Konsekuensi dari pendapat ini adalah kaum munafik juga termasuk orang beriman, sebab mereka juga mengucapkan dua kalimat syahadat.
Inilah keempat pendapat kaum Murji’ah. Semua pendapat ini adalah keliru dan menyesatkan. Adapun pendapat yang benar adalah apa yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwasanya iman itu mencakup ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad karya Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hal. 178-181)
Iman Dalam Pandangan Khawarij dan Mu’tazilah
Sekte Mu’tazilah dan Khawarij mendefinisikan iman sebagai ucapan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan anggota badan dan menurut mereka iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Meskipun demikian, mereka berbeda pendapat dalam menghukumi pelaku dosa besar. Mu’tazilah mengatakan bahwa pelaku dosa besar berada dalam posisi di antara dua keadaan -yaitu di antara Islam dan kekafiran- sehingga dia tidak kafir tapi juga tidak muslim. Adapun Khawarij mengatakan pelaku dosa besar halal darah, harta, dan harga dirinya ketika di dunia, dan di akherat ia kekal di neraka. Ini jelas merupakan perkataan yang mengatasnamakan Allah tanpa ilmu apabila dosa besar -yang dimaksud- bukan tergolong syirik akbar, kufur akbar, atau nifak i’tiqadi. Mu’tazilah sepakat dengan Khawarij dalam hal hukum akherat yaitu bahwa pelaku dosa besar meskipun ia adalah seorang muwahhid maka dia kekal di dalam neraka. Hukum yang zalim ini telah dimentahkan oleh dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui (meyakini) bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah maka dia pasti akan masuk surga, meskipun Allah ta’ala memberikan siksa kepadanya sesuai dengan kadar dosa besar yang dilakukannya. Yang jelas akhir perjalanan hidupnya adalah surga. Inilah madzhab yang dianut oleh Ahlus Sunah wal Jama’ah (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 170-171 karya Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah)
Dalam menyikapi pelaku dosa besar ada tiga kelompok utama yang menyimpang dari jalan yang lurus yaitu Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Khawarij menganggap bahwa pelaku dosa besar kafir -di dunia- dan -di akherat- kekal di dalam neraka. Adapun Murji’ah menganggap bahwa pelaku dosa besar seorang mukmin yang sempurna imannya dan tidak ada hukuman [siksa] yang harus dijatuhkan kepadanya. Sementara Mu’tazilah menganggap bahwa pelaku dosa besar di dunia tidak kafir tapi juga tidak beriman atau dikenal dengan istilah manzilah baina manzilatain (suatu posisi di antara dua keadaan). Meskipun demikian, Mu’tazilah sepakat dengan Khawarij dalam menghukumi pelaku dosa besar di akherat kelak akan kekal di neraka (lihat Mu’jam Alfazh al-‘Aqidah, hal. 331)
Syafa’at Bagi Pelaku Dosa Besar
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap Nabi memiliki sebuah doa yang mustajab, maka semua Nabi bersegera mengajukan doa/permintaannya itu. Adapun aku menunda doaku itu sebagai syafa’at bagi umatku kelak di hari kiamat. Doa -syafa’at- itu -dengan kehendak Allah- akan diperoleh setiap orang yang meninggal di antara umatku dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat Ahmad disebutkan, Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, “Aku adalah orang yang paling mengetahui tentang syafa’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat.” Orang-orang pun berpaling kepada beliau. Mereka berkata, “Beritahukanlah kepada kami, semoga Allah merahmatimu.” Abu Hurairah berkata: Yaitu beliau berdoa, “Ya Allah, ampunilah setiap muslim yang beriman kepada-Mu dan tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu apapun.” (HR. Ahmad, sanadnya dinilai hasan, lihat al-Ba’ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 49)
Hadits di atas menunjukkan bahwa hakikat syafa’at adalah doa. Salah satunya adalah doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah supaya mengampuni dosa-dosa setiap orang yang bertauhid. Dan syafa’at itu hanya akan diterima oleh orang yang bertauhid. Adapun syafa’at yang ditolak di dalam al-Qur’an adalah syafa’at bagi orang kafir atau musyrik. Seperti halnya yang dimaksud dalam firman Allah (yang artinya), “Sebelum datangnya suatu hari yang tidak berguna padanya jual-beli, kecintaan, maupun syafa’at.” (QS. Al-Baqarah: 254). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah bermanfaat bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.” (QS. Al-Muddatstsir: 48) dan ayat-ayat lain yang serupa (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 98)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Terdapat riwayat-riwayat yang secara keseluruhan mencapai derajat mutawatir yang menetapkan kebenaran syafa’at di akhirat bagi para pelaku dosa diantara kaum beriman. Telah sepakat salaf dan kholaf serta para ulama sesudahnya dari kalangan Ahlus Sunnah atas hal itu. Akan tetapi Khawarij dan sebagian Mu’tazilah tidak mempercayai hal itu. Mereka berpegang dengan madzhab mereka bahwa para pelaku dosa [besar] kekal di dalam neraka.” (lihat Syarh Muslim [2/311])
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diberikan pilihan -oleh Allah- antara syafa’at atau setengah umatku dimasukkan ke dalam surga. Maka aku pun memilih syafa’at, karena ia lebih luas [manfaatnya] dan lebih mencukupi. Apakah menurut kalian ia diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan sempurna imannya? Tidak, akan tetapi ia diberikan kepada orang-orang yang berdosa, pemilik kesalahan-kesalahan, orang yang bergelimang dengan dosa.” (HR. Ibnu Majah, dinilai sahih sanadnya oleh al-Bushiri, lihat al-Ba’ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 46)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Suatu kaum yang masuk ke dalam neraka Jahannam kemudian mereka dikeluarkan darinya, maka mereka pun masuk ke dalam surga. Mereka dikenal di surga dengan sebutan khusus untuk mereka. Mereka disebut dengan al-Jahanamiyun.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, dinilai sahih oleh al-Albani, lihat al-Ba’ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 51-52)
Karakter Kaum Beriman
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Anfal: 2)
az-Zajaj mengatakan, “Maksudnya, apabila disebutkan tentang kebesaran dan kekuasaan-Nya dan ancaman hukuman yang akan ditimpakan kepada orang-orang yang durhaka kepada-Nya maka hati mereka pun merasa takut.” (lihat Zaadul Masir, hal. 540)
‘Umair bin Habib radhiyallahu’anhu berkata, “Iman mengalami penambahan dan pengurangan.” Ada yang bertanya, “Dengan apa penambahannya?” Beliau menjawab, “Apabila kita mengingat Allah ‘azza wa jalla dan memuji-Nya maka itulah penambahannya. Apabila kita lupa dan lalai maka itulah pengurangannya.” (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 511)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Orang-orang munafik itu tidak pernah sedikit pun meresap dzikir kepada Allah ke dalam hatinya pada saat mereka melakukan amal-amal yang diwajibkan-Nya. Mereka sama sekali tidak mengimani ayat-ayat Allah. Mereka juga tidak bertawakal [kepada Allah]. Mereka tidak mengerjakan sholat apabila dalam keadaan tidak bersama orang. Mereka pun tidak menunaikan zakat dari harta-harta mereka. Oleh sebab itulah Allah mengabarkan bahwasanya mereka itu memang bukan termasuk golongan orang-orang yang beriman.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [4/11])
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud dari ungkapan ‘bergetarlah hati mereka’, kata beliau, “Yaitu mereka merasa takut kepada-Nya sehingga mereka pun melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [4/11])
Ketika menjelaskan makna dari ‘apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah imannya’ Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung dalil bahwasanya terkadang seorang lebih banyak mendapatkan faidah karena bacaan [al-Qur’an] oleh orang lain daripada bacaan oleh dirinya sendiri…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/30])
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa dari ayat di atas bisa disimpulkan bahwa ciri-ciri orang beriman itu antara lain:
- Merasa takut kepada-Nya ketika mengingat-Nya, yang dengan sebab itulah maka dia akan melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya
- Bertambahnya keimanan mereka tatkala mendengar dibacakannya al-Qur’an
- Menyerahkan segala urusan dan bersandar kepada Allah semata (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 269)
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa salah satu ciri utama orang beriman adalah bertawakal kepada Allah saja. Hatinya tidak bergantung kepada selain-Nya. Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah salah satu kewajiban tauhid dan iman yang terbesar. Sesuai dengan kekuatan tawakal maka sekuat itulah keimanan seorang hamba dan bertambah sempurna tauhidnya. Setiap hamba sangat membutuhkan tawakal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala yang ingin dia lakukan atau tinggalkan, dalam urusan agama maupun urusan dunianya.” (lihat al-Qaul as-Sadid ‘ala Maqashid at-Tauhid, hal. 101)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Tawakal adalah separuh agama. Oleh sebab itu kita biasa mengucapkan dalam sholat kita Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Kita memohon kepada Allah pertolongan dengan menyandarkan hati kepada-Nya bahwasanya Dia akan membantu kita dalam beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud: 123). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Kepada-Nya lah aku bertawakal dan kepada-Nya aku akan kembali.” (QS. Hud: 88). Tidak mungkin merealisasikan ibadah tanpa tawakal. Karena apabila seorang insan diserahkan kepada dirinya sendiri maka itu artinya dia diserahkan kepada kelemahan dan ketidakmampuan, sehingga dia tidak akan sanggup beribadah dengan baik.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/28])
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah sebuah kewajiban yang harus diikhlaskan (dimurnikan) untuk Allah semata. Ia merupakan jenis ibadah yang paling komprehensif, maqam/kedudukan tauhid yang tertinggi, teragung, dan termulia. Karena dari tawakal itulah tumbuh berbagai amal salih. Sebab apabila seorang hamba bersandar kepada Allah semata dalam semua urusan agama maupun dunianya, tidak kepada selain-Nya, niscaya keikhlasan dan interaksinya dengan Allah pun menjadi benar.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 91)